Membelah Televisi

Senin, 31 Juli 2023 07:27 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya kesal, televisi penuh dengan sinetron. Saya akan membelah televisi di rumah!

Kisah ini buah imajinasi. Sebuah cerpen yang panjang. Nama sekolah dan perguruan tinggi yang disebut dalam kisah ini hanya fiktif belaka. Penyebutan merek obat, pisau, sepeda motor, hanya untuk menguatkan cerita, bukan untuk promosi. 

Suatu saat saya akan membelah televisi di rumah kami menggunakan kapak. Di gudang ada sebilah kapak dengan panjang gagang sekira 30 sentimeter, yang saya kira cukup kuat untuk membelah televisi dengan sekali tebas. 

Kapak itu saya beli sekira tiga tahun silam karena saya penggemar senjata tajam –pisau, parang, dan lainnya. Selama tiga tahun itu si kapak tergeletak di gudang, karena saya tidak tahu peruntukkannya. Sekarang saya tahu, kapak itu akan saya pergunakan untuk membelah televisi.

Saya menyusun rencana waktu yang tepat dan tindakan yang dramatis untuk membelah televisi itu menjadi dua bagian atau tiga bagian, atau kalau perlu sampai berkeping-keping.

Rencana A: saya akan menunggu saat rumah sepi, saat Halimah, Aprilia, Meilani, dan Yunita sedang tidur. Pada saat itu saya akan dengan garang mengayunkan kapak dengan sekuat tenaga, sekali tebas, kras! Televisi terbelah, lalu mereka akan terbangun dari tidur, menjerit histeris melihat televisi satu-satunya di rumah kami telah menjadi rongsok. Tetapi, ah, kurang dramatis.

Rencana B: saya akan mengenakan celana jins hitam, jaket hitam, dan kacamata hitam, lalu dengan gagah keluar dari kamar sambil menggenggam kapak. Di ruang tengah, saya bayangkan, istri dan ketiga anak gadis saya akan berteriak histeris mencegah aksi saya, namun mereka tak berdaya karena dalam keadaan marah tenaga saya berlipat ganda. Lalu, dengan kekuatan seperti Hulk, saya menebaskan kapak, membelah televisi. Kemudian, seperti superhero Hollywood, saya akan menggeram dan berkata, “Aku, Rizal Si Pembelah Televisi!” Masih kurang dramatis?

Rencana C: saya belum memikirkannya. 

Saya kira, rencana A dan rencana B akan membuat geger kompleks perumahan Griya Permai dan akan cepat viral di media sosial. Yeah, saya akan terkenal!

Namun, untuk saat ini saya harus menahan diri; sering menarik napas panjang dan mencoba membaur dengan keluarga di ruang tengah, menonton sinetron Pacarku Tukang Kentut atau sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga.
***
Saya belum melaksanakan rencana saya untuk membelah televisi di rumah kami. Menyusun rencana harus cermat, dan melaksanakan rencana harus pada waktu yang tepat. Jangan gegabah. 

Seperti biasa, kami sarapan bersama di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Menu pagi ini macam-macam, karena selera kami berbeda-beda. Halimah tempe goreng. Aprilia si sulung, roti bakar dengan selai kacang. Meilani si tengah, telur goreng orak-arik dengan kecap. Yunita si bungsu, sosis goreng. Saya telur ceplok diolesi kecap. 

Kami makan dengan lahap karena berlauk sesuai selera masing-masing. Seperti dalam film Hollywood, kami selingi acara makan dengan obrolan. Namun, obrolan kali ini dikuasai oleh istri dan anak-anak.

Halimah dan Aprilia membicarakan sinetron Pacarku Tukang Kentut. Meilani dan Yunita memuji-muji sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga. Ada dua kubu yang berbeda dengan sinetron yang berbeda. Masing-masing kubu menganggap sinetronnya yang menarik, dan sesekali menyindir sinetron dari kubu lain sebagai tayangan kurang menarik. 

“Itu sinetron jorok. Masa tiap kali ada adegan orang kentut. Ih, jijik,” kata Meilani yang kelas XII SMA, sambil wajahnya menggambarkan orang merasakan jijik.

“Iya, itu sinetron jorok dan norak. Seperti nggak ada judul lain saja,” timpal Yunita yang kelas X SMA, mendukung pendapat kakaknya.

“Judul mah nggak penting. Yang penting ceritanya asyik. Tul nggak, Ma?” sahut Aprilia yang mahasiswa Manajemen semester 4, mendongakkan kepala.

“Betul itu,” mama menukas. “Memang tren sekarang, judul sinetron kita aneh-aneh atau panjang-panjang. Mama nggak tahu mengapa begitu, tapi yang penting, benar kata Yunita, ceritanya asyik-asyik.”

“Asyik apanya,” sergah Meilani. “Baru nonton semenit, remote sudah direbut mama atau Kak Prila.”

“Eh, siapa yang merebut? Aku kan merebut balik remote yang kamu rebut. Kamu tuh yang merebut duluan. Ya, kan, Ma?” kata Aprilia membela diri.

“Betul itu,” sahut mama. “Sinetron Pacarku Tukang Kentut itu lebih dulu tayang daripada Anakku Bukan Anak Tetangga. Jadi, harus ditonton dulu sampai rampung.”

“Yang betul itu,” Meilani cepat menukas. “Kita harus punya dua tivi.”

“Betul itu!” Halimah dan anak-anak serempak berseru, dan serempak pula menatap saya.

“Apa?” saya tertegun, sendok yang sudah di depan mulut berhenti. “Mengapa kalian menatap papa?”

“Dua tivi,” mereka serentak menjawab.

“Dua tivi? Untuk kalian?” tanya saya, sendok masih di depan mulut.

Mereka mengangguk bersamaan.

“Lalu untuk papa?” tanya saya.

“Kalau begitu tiga tivi, kalau perlu empat tivi,” sahut Halimah.

“Setujuuuu!!!” anak-anak yang menjawab.

Saya menurunkan sendok. Berhenti makan.
***
Pukul 06.00, kami sudah berada di halaman rumah dengan kendaraan masing-masing. Saya memang menerapkan disiplin dalam keluarga. Jangan sampai terlambat ke tempat tujuan. Disiplin itu penting dan harus ditanamkan sejak dini, karena nanti akan terbawa sampai tua. 

Kami juga menanamkan adab yang baik. Sebelum berangkat, anak-anak mencium tangan saya dan Halimah. Dahulu, ketika anak-anak masih kecil, mereka saya peluk sebelum berangkat sekolah. Sekarang, mereka sudah besar, mereka malu kalau saya peluk seperti dahulu. Jadi, Halimah dan anak-anak saja yang berpelukan dan beradu pipi. Lalu, Halimah akan berpesan pada mereka, “Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik. Jangan pacaran, ingat itu!”

“Kak Prila tuh, Ma, yang pacaran,” sahut Meilani, melirik Aprilia.

Aprilia menginjak kaki Meilani, melotot, dan berseru, “Bawel! Tukang lapor!”

“Prila!” Halimah menukas dan membelalakkan mata pada Aprilia. 

Si sulung kami itu buru-buru meralat tuduhan adiknya, dan seraya menyeringai dia berkata, “Nggak, kok, Ma. Cuma teman dekat saja.”

“TTM, Ma,” Meilani menukas lagi.

“TTM, apa itu?” Halimah mengernyitkan dahi.

“Teman tapi mesra, Ma,” kali ini Yunita yang menukas, sembari melantunkan sebuah lagu. Halimah dan saya tentu saja hapal lagu itu: Teman Tapi Mesra dari Duo Ratu.

Aprilia mendorong tubuh Yunita. Si bungsu itu memekik sesaat karena tubuhnya limbung karena kakaknya mendorong cukup kuat.

“Kamu juga ikut-ikutan. Masih kecil sudah bawel!” ujar Aprilia, melotot. Yunita membalasnya dengan menjulurkan lidah.

“Prila!” Halimah menukas lagi. Membelalakkan mata lagi.

“Nggak, kok, Ma. Sungguh, cuma teman dekat,” sahut Aprilia, namun tidak berani menatap mata Halimah berlama-lama.

“Cukup!” saya menyela, melirik arloji di tangan kanan. “Lima menit waktu kita terbuang. Sekarang, kalian berangkat. Ayo, cepat!”

“Daaa, Mama. Daaa, Papa. Assalamualaikum,” seru anak-anak serempak, melambaikan tangan, dan kami menjawab salam mereka seraya melambaikan tangan pula.

Aprilia berangkat naik Vario merah menuju kampusnya di Universitas Perdamaian, Batang, Jawa Tengah. Meilani dan Yunita berboncengan Beat hitam, karena sekolah mereka sama di SMA Muhammadiyah 1 Batang.

Saya dan Halimah berboncengan naik Nmax putih. Sebelum naik ke boncengan, Halimah berkata, “Lihat tuh anakmu. Sudah mulai pacaran.”
***
Saya sudah biasa menerima hal ini. Setiap anak-anak melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati Halimah, maka istri saya itu akan melotot dan berkata, “Lihat tuh anakmu!”

Namun, sebaliknya, kalau anak-anak melakukan sesuatu yang menyenangkan atau membuat Halimah bangga, maka dia akan tersenyum lebar dan berkata, “Siapa dulu dong mamanya?”

Saya segera duduk di jok motor.

“Itu karena Prila sudah kena virus sinetron. Sebentar lagi Mei dan Yuni mungkin juga akan kena virus yang sama,” kata saya, sembari memasukkan kunci motor ke lubangnya.

“Kok salahkan sinetron? Sejak dulu, mahasiswa pacaran itu sudah ada, meski belum ada tivi apalagi sinetron,” sahut Halimah.

“Kalau begitu, pertanyaan dan pernyataan mama sudah terjawab.”

“Ya. Tapi, jangan salahkan sinetron, dong?” Halimah cemberut.

Saya terkekeh, lalu melirik arloji.

“Tiga menit waktu kita terbuang lagi,” kata saya, lalu meminta Halimah untuk naik ke jok belakang. Dia duduk menyamping, karena memakai rok.

“Ya, sudah,” sahutnya bermuka masam.

“Ya, sudah apa?”

“Berangkat.”

Saya tertawa sejenak. Setelah itu tangan kiri saya menepuk dasbor motor, lalu mengucapkan idiom sakti seperti dalam sinetron, “Berangkat!”

“Papa juga kena virus sinetron!” ucapnya. Helm yang saya kenakan tidak mampu meredam suara nyaringnya.

Saya tertawa lagi. Dalam hati, saya membenarkan ucapan Halimah. Sinetron telah memengaruhi kehidupan banyak orang, termasuk saya, istri, dan anak-anak. Sebetulnya, saya ingin mengatakan pada Halimah, kalau terlalu sering menonton sinetron perselingkuhan, akan menggiring pikiran kita bahwa selingkuh itu wajar bahkan mengasyikkan.

Itu sudah terbukti, ya, setidaknya sejauh ini. Di pos ronda Perumahan Griya Permai, saya sering mendengar obrolan bapak-bapak tentang perselingkuhan, Mereka tahu bapak anu, ibu itu, orang ini-itu punya selingkuhan, dan mereka menganggap hal itu sebagai kewajaran. Mereka membiarkan saja perselingkuhan itu terjadi, bahkan senang karena bisa menjadi bahan obrolan yang mengasyikan.
 
Zaman dahulu, kalau ada orang berselingkuh, akan digrebeg ramai-ramai. Sekarang, masa bodoh. Mereka berperilaku seperti dalam sinetron. Ya, itu yang terjadi, dan saya ingin mengatakannya pada Halimah, namun saat ini bukan waktu yang tepat. Saya harus konsentrasi mengendarai motor.

Komplek perumahan telah kami tinggalkan. Motor telah berada di jalanan kota yang ramai. Saya melajukan motor santai saja, kecepatan sekitar 40 km/jam.

“Papa, gimana?” tanya Halimah, setelah menepuk bahu kiri saya.

Sambil masih memandang ke depan, saya menjawab, “Apanya?”

“Papa!” Halimah menaikkan volume suara, dan menepuk lebih keras bahu saya.

Saya tersadar, kalau saya tetap menatap ke depan, bicara sekeras apapun tak akan didengar oleh Halimah. Maka, saya melambatkan laju motor. Saya menelengkan kepala ke kiri, lalu mengulang ucapan saya, “Apanya yang bagaimana, Ma?”

“Kita beli tivi lagi! Biar nggak rebutan nonton sinetron!”

Duh! Sinetron lagi!
***
Kami sampai di halaman TK Aisyiyah 5 Batang, tempat Halimah mengajar. Halimah turun dari boncengan. Biasanya, dia mencium punggung tangan saya dengan wajah semringah, tersenyum manis. Sekarang, dia bermuka masam, dan mencium punggung tangan saya secepat kilat, lalu bergegas melangkah menuju gedung sekolah berlantai dua itu.

Saya mengangkat bahu, sudah paham tabiat Halimah. Kalau sedang ngambek, ya pasang muka masam dan banyak diam. Dia bahkan lupa mengucapkan salam seperti biasanya.

Halimah ngambek, karena saya tidak menggubris permintaannya untuk membeli televisi baru. Tadi, di perjalanan, saya memotong pembicaraan dengan nada tegas, “jangan bicara soal tivi lagi. Papa pusing!”

Saya realistis saja. Televisi di rumah masih layak pakai, gambarnya masih jernih, suaranya masih cemengkling, meski itu televisi model lama. Layarnya masih LCD, belum LED, namun yang penting bisa dipasang set top box sehingga bisa menangkap siaran digital, ada ratusan kanal, banyak yang menyajikan sinetron.

Astaga, lagi-lagi sinetron!

Lupakan televisi dan sinetron! Saya harus segera ke tempat kerja. Keluar dari halaman TK, saya memacu motor menuju SMP Negeri 10 Batang. Jarak dengan tempat kerja Halimah sekitar tiga kilometer, namun karena pada jam sibuk dan ada beberapa lampu bangjo, maka jarak segitu perlu waktu hampir setengah jam. Namun, syukurlah, belum pukul tujuh pagi, saya sudah sampai di tujuan.

Usai memarkir motor di tempat parkir khusus guru dan karyawan, membiarkan tas masih di bagasi motor, saya bergegas menuju gapura sekolah. Hari ini saya bertugas menyambut para siswa.

Di gapura sudah ada Bu Hani dan Bu Kusmirah yang berdiri di dekat tiang barat. Sedangkan di tiang timur, tampak Bu Rusmilah berdiri sendiri. Mereka menyalami siswa-siswa yang baru datang. Saya segera bergabung dengan Bu Rusmilah.

“Pak Kasmani sudah datang?” tanya saya tentang Kepala Sekolah, pada Bu Rusmilah.

“Belum. Mungkin sebentar lagi,” sahut Bu Rusmilah, disela menyalami siswa-siswa.

Saya bernapas lega. Kalau saja Kepala Sekolah sudah datang, alamat saya akan kena damprat lengkap dengan petuah, “Ajari disiplin diri sendiri, sebelum ajari orang lain untuk disiplin.”

“Tumben baru datang, Pak? Biasanya, setengah tujuh sudah di sini,” tanya Bu Rusmilah.

“Ada sedikit masalah di rumah dan di jalan, Bu. Masalah istri dan anak-anak,” kata saya.

“Wah, kalau itu saya tidak mau ikut campur,” sahut Bu Rusmilah, tersenyum.

Dua siswi berhijab putih yang tinggi tubuhnya hampir sama, datang, lalu mencium punggung tangan Bu Rusmilah, dan melakukan hal yang sama pula pada saya.

Setelah beberapa langkah menjauh dari saya, dua siswi itu melakukan adegan yang sering saya lihat di rumah. 

Seorang siswi memencet hidungnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan melakukan gerakan mengipas, seraya berkata, “Ih, kamu kentut, ya?” Lalu, siswi satunya lagi menjawab, “Iya, maaf, ya?” Kemudian dua siswi itu tertawa bersama.

Adegan itu mirip yang dilakukan Halimah dan Aprilia ketika sedang nonton sinetron Pacarku Tukang Kentut.

Duh! Virus sinetron sudah menjalar ke sekolah saya!
***
Hari ini, jam pertama, saya bertugas mengajar Bahasa Indonesia di Kelas 8C. Sebelum ke ruang kelas, saya mampir ke ruang TU untuk mengambil spidol dan penghapus. Tempat alat tulis ada di dekat pintu ruang TU, tetapi kok tidak ada?

Di ruang TU ada Pak Rasdi yang sedang duduk di depan komputer, dan di meja lain ada Pak Bustaman sedang tekun dengan buku besarnya, mungkin memeriksa catatan keuangan siswa. 

Di sudut lain ada Bu Ningrum yang berusia sepantaran Halimah, sedang asyik menonton televisi di dinding. Mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tidak menyadari kehadiran saya.

“Spidol dan penghapus di mana, ya?” tanya saya, dan berharap ada yang menjawab. Namun, semua masih sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya berdehem. Bu Ningrum menelengkan kepala ke kiri, lalu tangan kirinya menunjuk ke sudut ruangan. Setelah itu dia kembali memalingkan kepala ke arah televisi di dinding.

“Terima kasih,” ucap saya, lalu menuju ke sudut ruangan, mengambil spidol dan penghapus. 

“Kalau kertas folio bergaris, di mana?” saya bertanya lagi, karena tampaknya ruangan ini telah berubah tata letaknya.

Lagi, Bu Ningrum menoleh sejenak, tangannya menunjuk ke arah mana saya harus menuju. Saya mengikuti petunjuk arahnya, mengambil sebendel kertas folio bergaris.

Sebelum melangkah keluar ruangan, saya melirik CCTV yang ada di beberapa sudut ruangan. Saya berpikir, sungguh nekad Bu Ningrum, berani santai saat jam kerja. Atau jangan-jangan CCTV itu dimatikan sejenak? Entahlah. Saya juga melirik televisi yang sedang ditonton Bu Ningrum.

“Sinetron apa, Bu?” tanya saya.

Bu Ningrum menoleh sejenak.

“Bukan, Pak. Itu FTV,” katanya, lalu menatap televisi lagi.

Lho, beda ya, sinetron dan FTV? Apapun namanya, sinetron atau FTV, yang jelas keduanya telah membuat sebagian atau bahkan banyak orang terlena, bahkan pada saat jam kerja. Duh! Virus sinetron sudah menjalar sampai ke ruang TU.

Saya segera menuju ke ruang Kelas 8C. Murid-murid gelagapan menuju meja masing-masing. Dalam sekejap ruangan tertib. Saya memberi salam, menyampaikan basa-basi sejenak, lalu berkata, “ Seperti telah kita sepakati minggu lalu, hari ini kita akan belajar mengarang prosa, dalam hal ini cerpen. Temanya adalah kehidupan keluargaku. Kalian siap?”

“Siap, Pak,” serempak, para siswa menjawab.

Saya meminta bantuan dua siswa untuk membagikan kertas folio bergaris. Setelah semua siswa menerima kertas, saya mengatakan pada mereka bahwa kalau ada yang kekurangan kertas bisa meminta pada saya. Dan, saya memberi batas waktu mereka untuk mengarang adalah 60 menit, “Mulai dari sekarang,” perintah saya.

Sembari menunggu para siswa mengerjakan karangan mereka, saya membuka tas, mengeluarkan buku Cinta Semanis Racun. Buku setebal 600-an halaman itu berisi kumpulan cerpen dari seluruh dunia yang diterjemahkan Anton Kurnia. Buku yang tebal dengan cerpen yang bagus-bagus. 

Tak terasa 60 menit telah sampai. Itu saya ketahui ketika alarm di ponsel saya berdering. Saya meminta para siswa untuk mengumpulkan tugas mereka, selesai atau tidak selesai.

Saya melihat-lihat karangan mereka. Jantung saya berdegup kencang membuat dada saya berdesir-desir. Kepala terasa berdenyut-denyut ketika membaca cerpen-cerpen tersebut. Mayoritas cerpen itu menggunakan judul yang mengerikan!
***
Kepala saya masih berdenyut ketika keluar dari ruang Kelas 8C. Saya tidak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidup saya. Seumur-umur, ini kali pertama saya mengalaminya. Saya bergegas menuju ruang guru. Menghempaskan tubuh ke kursi, menyandarkan punggung, dan meluruskan kaki ke kolong meja. 

Saya menarik napas, mencoba menenangkan diri. Apapun yang terjadi, ini sudah tugas saya sebagai guru. Dengan mencoba mengabaikan kepala yang berdenyut, saya meletakkan setumpuk kertas berisi cerpen-cerpen karya siswa. 

Dada saya berdebaran ketika membaca judul-judul cerpen karya siswa yang sungguh mengerikan: Mamaku Galak Jadi Mak Lampir, Selingkuhan Papaku Cantik Bagai Bidadari, Lelaki Asing Yang Sering Masuk Kamar Mama, dan judul lain yang lebih mengerikan dari cerita horor.

Bagaimana para siswa saya bisa membuat judul-judul seperti itu? Judul-judul itu mengingatkan saya pada judul-judul sinetron di televisi. Memang dahsyat pengaruh televisi, pengaruh sinetron terhadap kehidupan penonton. Anak-anak praremaja seperti siswa-siswa SMP saya sudah lincah membuat judul-judul cerpen yang mengerikan. 

Dari judul saja sudah mengerikan, bagaimana dengan isinya? Tidak, saya tidak sanggup membacanya. Saya tumpuk lagi kertas-kertas itu, lalu saya masukkan ke tas saya. Entah kapan saya akan membacanya. Atau mungkin saya akan membakarnya saja nanti di rumah. 

Kepala saya masih berdenyut, dan terasa denyutnya makin hebat. Saya perlu Paramex. Nanti, saya akan membelinya di kantin Bu Ponijah. Sekarang, saya akan memejamkan mata dulu di kursi ini.

Saya membuka mata ketika mendengar langkah mendekati meja saya. Tampak Bu Hani dan Bu Kusmirah baru selesai mengajar dan kembali ke meja masing-masing yang dekat dengan meja saya.

Namun, Bu Hani hanya sebentar saja, dia meletakkan buku-buku di mejanya, lalu bergegas keluar, seolah memburu sesuatu.

“Mau ke mana Bu Hani?” tanya saya pada Bu Kusmirah.

“Ke kantin Bu Ponijah, Pak.”

“Kok buru-buru tampaknya?” tanya saya, penasaran.

“Nonton sinetron, Pak. Kalau nonton di ruang TU atau perpustakaan, ya, tidak berani, ada CCTV-nya,” jelas Bu Kusmirah.

“Sinetron apa, Bu?” kejar saya.

“Anakku Bukan Anak Tetangga.”

“Lho, bukankah sinetron itu tayang malam hari?” tanya saya, tambah penasaran.

“Ya, Pak. Yang jam segini itu tayang ulangnya,” jelas Bu Kusmirah, lalu melirik jam di dinding. “Semalam saya juga tidak nonton sinetron itu. Kalah sama Lila, anak saya, yang suka sinetron Pacarku Tukang Kentut.”

Saya tergeragap, beringsut memperbaiki duduk. Bayangan suasana di rumah saat Halimah dan anak-anak rebutan nonton dua sinetron itu, hadir dalam pikiran saya. Dunia jadi serasa kecil bagi saya. Di mana-mana, seperti di rumah saja; keranjingan nonton sinetron.

Bu Kusmirah memasukkan buku-buku dan tas ke lemari kecil di mejanya. Menguncinya, lalu kembali melirik jam di dinding. 

“Bu Kus buru-buru juga, mau ke mana?” tanya saya, melihat wajah Bu Kusmirah yang tampak gelisah.

“Sudah terlambat, nih, Pak. Saya mau ke kantin. Nonton sinetron,” Bu Kusmirah bergegas meninggalkan ruangan.

Saya bengong melihat kejadian itu. Duh! Virus sinetron sudah pula menyerang ibu-ibu guru di sekolah saya.

Saya juga perlu ke kantin. Bukan untuk menonton sinetron, namun membeli obat pusing!

Di kantin Bu Ponijah, saya memesan Paramex dan segelas teh hangat. Saya minum satu tablet. Air teh menghangatkan rongga dada saya. Saya duduk di kursi dekat etalase. 

Kantin lengang, karena para siswa yang biasa nongkrong, sudah masuk ke ruang kelas masing-masing. Saya mencomot sepotong pisang goreng, memakannya pelan-pelan.

Kepala saya masih berdenyut. Saya berharap satu atau dua jam kemudian, pusing akan lenyap dari kepala saya. Minum obat saja tidak cukup, saya harus melupakan pikiran-pikiran yang meresahkan bahkan menjengkelkan. Saya harus melupakan cerpen-cerpen karya siswa, saya harus melupakan obrolan tentang sinetron.

Dari kamar dekat kantin –kantin itu punya kamar untuk Bu Ponijah beristirahat—saya mendengar suara televisi dan suara orang cekikikan. Saya melongokkan kepala, dan melihat Bu Hani dan Bu Kusmirah sedang asyik nonton televisi. Saya beranjak dari kursi, mendekati mereka.

“Bu Hani dan Bu Kus tidak mengajar?” tanya saya, berdiri di ambang pintu.

Mereka menoleh sejenak ke arah saya, lalu berpaling lagi menatap televisi. Sinetron memang mampu mengacaukan perhatian orang. 

“Tidak ada jam mengajar, ya?” saya mengganti pertanyaan.

Kali ini Bu Hani yang menoleh, lalu menjawab, “Anak-anak sudah saya kasih tugas merangkum, Pak.”

Bu Kusmirah juga menoleh, lalu menyahut, “Saya juga. Ada tugas buat anak-anak.”

Luar biasa virus sinetron, sampai mampu menyerang guru melupakan tugasnya mendidik generasi penerus. 

“Kalau ketahuan Pak Kasmani, bagaimana?” tanya saya, dan membayangkan kepala sekolah kami itu tiba-tiba muncul di kantin.

“Beliau ke Kantor Dinas, rapat,” jawab Bu Hani.

“Kalau rapatnya sebentar, lalu beliau tiba-tiba sudah di sini, bagaimana?” tanya saya, semacam menakut-nakuti, dan membayangkan dua guru yang sebaya dengan saya itu gelagapan kepergok kepala sekolah. 

“Nggak mungkin. Undangan jam sembilan, mulai rapat jam sebelas. Mungkin juga beliau selesai rapat langsung pulang ke rumah. Kalaupun kembali ke sekolah, ya, cuma untuk fingerprint saja sebentar,” jawab Bu Hani memberikan analisa yang menurut saya masuk akal juga. Namun, tak baik kalau seorang guru melalaikan tugas mengajar.

Saya diam, meski dada saya serasa sesak, tidak setuju dengan sikap dan pemikiran mereka. 

“Lha, Pak Rizal sendiri nggak mengajar?” tanya Bu Kusmirah.

“Hari ini hanya mengajar di satu ruang saja, Bu. Lagi pula, kepala saya pusing,” jawab saya.

“Tengah bulan sudah pusing? Kalau saya pusing di tanggal tua, Pak,” sahut Bu Kusmirah terkekeh. Bu Hani menoleh, lalu ikutan tertawa.

“Kalau Pak Rizal pusing karena kebanyakan duit,” timpal Bu Hani, tertawa lagi.

Saya menyeringai saja. Perlahan, saya undur diri, menjauh dari pintu kamar itu. Kepala saya masih berdenyut, meski tak sehebat tadi. Mulai reda. Saya segera membayar obat, teh, dan sepotong pisang goreng. Menyerahkan selembar uang duapuluh ribuan.

“Kembaliannya, Pak,” kata Bu Ponijah menyodorkan beberapa lembar uang yang saya tak tahu berapa jumlahnya.

“Ambil saja, Bu,” kata saya.

Saya melirik sekilas ke kamar. Bu Hani dan Bu Kusmirah, rupanya, juga menoleh, sehingga kami saling bertatapan.

Sambil tersenyum lebar, Bu Hani berkata, “Nah, betul, kan? Pak Rizal pusing karena kebanyakan duit? Kembaliannya buat kami, ya, Pak?”

Saya tersenyum, mengacungkan jempol kanan. Bu Hani dan Bu Kusmirah segera menghambur ke meja kantin, mencomot pisang goreng.

Saya segera berlalu. Lebih baik saya ke ruang UKS Guru, berbaring, karena mata saya mulai mengantuk.
***
Usai jam kerja, saya tidak perlu menjemput Halimah, karena dia biasa membonceng rekannya yang rumahnya searah dengan rumah kami. Pusing di kepala saya sudah hilang. 

Tadi saya tidur di ruang UKS. Bangun sebentar untuk salat zuhur, makan siang di kantin, lalu berbaring lagi hingga asar. Bakda asar, saya melajukan motor pelan-pelan menuju rumah.

Tak jauh dari tempat kerja saya, ada keramaian. Rupanya, toko yang bulan lalu masih direnovasi, kini sudah buka. Banyak spanduk, baliho, banner, di depan toko itu, bahkan saya sempat lihat tadi balihonya ada di sekitar sekolah saya. Saya tertarik dengan spanduk bertuliskan: Promo Diskon 30% & Hadiah Menarik. Ah, hadiah menarik apa rupanya? Saya berhenti di depan toko itu.

Saya memasuki toko yang luasnya cukup untuk tiga ruang kelas itu. Di sana penuh televisi, kulkas, mesin cuci, dan peralatan elektronik lainnya. Beberapa pramuniga tampak sibuk melayani pengunjung.

Seorang pramuniaga mendekati saya. Dia berpenampilan serba pink, mulai dari celana panjang, tunik, hingga jilbab, semua pink. Bibirnya juga pink, dan pipinya yang mulus juga ada rona pink. Ah, sedap dipandang.

“Selamat datang di Dunia Elektronik. Ada yang bisa saya bantu, Bapak?” pramuniaga itu agak merundukkan badan dan kedua telapak tangannya tertangkup di depan dada.

“Lihat-lihat dulu, ya, Mbak?” kata saya.

“Oh, silakan, Bapak, silakan,” dia menyilakan dengan gerakan tangan kanannya.

Saya menuju ke area televisi. Wow, banyak sekali televisi beraneka ukuran. Kalau Halimah tahu, pasti dia akan histeris, karena sudah lama dia ingin punya televisi baru. Dalam artian, untuk menggantikan televisi lama, bisa pula berarti ingin tambah televisi.

“Hadiah menariknya apa, Mbak?” tanya saya teringat spanduk di jalan.
Pramuniaga itu menyerahkan brosur pada saya, lalu menggiring saya ke bagian tertentu.

“Ini merek baru dari Cina, Pak. Tapi kualitasnya bagus. Dan ada bonusnya, pisau dapur senilai 300 ribu,” pramuniaga itu menunjukkan televisi yang dimaksud, lalu juga menunjukkan pisau itu.

Saya terpukau. Bukan pada televisi, namun pada pisau itu. Pramuniaga itu benar, memang harga pisau itu 300 ribu. Pisau itu berukuran panjang 20 cm, buatan Belanda. Tahun lalu saya hendak membeli pisau itu di Sigmamart, tapi habis, yang ada tinggal yang ukuran 15 cm yang harganya lebih murah.

Sulit mencari pisau tersebut, di supermarket di Pekalongan juga tidak ada. Karena itu ketika Sigmamart menjual pisau itu, saya langsung terpikat. Namun, stok barang terbatas, saya hanya bisa membeli yang berukuran 15 cm. 

Tiap kali mampir ke Sigmamart, saya sempatkan untuk bertanya apa pisau Royal VKB tersedia lagi? Jawaban yang saya terima selalu berupa gelengan kepala dari kasir.

Sekarang, pisau itu ada di depan saya, dipegang oleh pramuniaga yang sedap dipandang. Saya harus memiliki pisau itu.

“Kalau beli pisaunya saja, bisa ndak, Mbak?” tanya saya, terus terang.

Pramuniaga itu tertegun, namun segera menguasai diri dengan tersenyum manis.

“Televisi Cina dan pisau ini sudah satu paket, Pak. Tidak bisa dipisah, seperti Bapak dan istri Bapak,” ucapnya, tersenyum menampakkan deretan giginya yang bagus.

Saya geregetan ingin memiliki pisau itu. Berarti, saya harus membeli televisi agar mendapat bonus pisau berwarna hitam itu? Lantas, apa hubungan antara televisi dan pisau dapur?

Saya mengatakan pada pramuniaga cantik itu, bahwa yang lazim membeli televisi mendapat bonus kipas angin, blender, atau ponsel. Mengapa di toko ini membeli televisi berbonus pisau dapur?

Pramuniaga itu mendengarkan penjelasan dan pertanyaan saya dengan saksama. Beberapa kali dia mengangguk, entah mengerti atau sekadar adab menghargai orang berbicara. Yang jelas, setelah saya selesai bicara, dia tersenyum, lalu menjawab dengan tangkas.

“Istri Bapak bisa memasak di dapur sambil menonton televisi. Dengan pisau ini acara memasak jadi semakin menyenangkan. Pisau ini tajam, tak perlu diasah, akan membuat istri Bapak nyaman,” katanya.

“Kok tahu saya punya istri?” goda saya.

Pramuniaga itu mengamati saya sejenak, lalu tersenyum dan menjawab, “Maaf, bukan saya merayu, tapi orang ganteng seperti Bapak, saat muda pasti jadi idola wanita. Jadi, saya yakin Bapak pasti punya istri.”

Alamak, maut kali rayuan itu. Saya sampai deg-degan. Saya pun terkekeh.

Pramuniaga itu menutup mulutnya dengan telapak tangan, mirip wanita Jepang di film-film itu. “Maaf, mungkin saya kurang sopan pada Bapak,” katanya, seolah menyesal.

“Oh, tidak, tidak. Itu fakta, kok. Apa yang Anda katakan itu benar,” sahut saya tersenyum lebar.

Kembali ke soal televisi dan pisau dapur. Membeli televisi lagi, bukan masalah bagi saya. Kalau perlu, tiap ruangan di rumah bisa saya pasang televisi. Namun, masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah konsistensi.

Tahun lalu, saya pernah menjadi moderator seminar tentang Dilema Televisi: Manfaat dan Mudarat. Seminar bertempat di Hotel Sendang Sari, Batang. Beberapa pembicaranya para ahli bidang komunikasi massa, pakar telekomunikasi, dan psikolog. Pesertanya para guru di Kabupaten Batang, karena seminar itu diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Batang.

Sebelum seminar berakhir, sebagai moderator saya menyampaikan kesimpulan dari seminar itu, yaitu: bahwa kita memiliki televisi cukup satu saja. Tak perlu banyak televisi di rumah, karena akan menyebabkan disharmonisasi, menumbuhkan sikap egois, dan diskomunikasi antar anggota keluarga. Kira-kira begitulah.

Kalau sekarang saya membeli televisi, sementara di rumah sudah ada televisi, berarti saya mengingkari omongan saya sendiri. Itu tidak baik. Memang, orang lain mungkin tidak tahu, tapi Tuhan pasti tahu, kalau saya membeli televisi lagi, berarti saya munafik. Orang menuafik akan menghuni neraka jahanam. Sungguh mengerikan!

Saya harus memikirkan matang-matang perkara televisi ini, jangan gegabah.

“Bagaimana, Bapak?”

Saya tergeragap. Di depan saya, pramuniaga itu tersenyum, tatapannya tampak berharap saya tertarik untuk membeli televisi itu.

“Ini menarik sekali. Beli tivi dapat bonus pisau dapur. Tapi, saya perlu rundingan dulu dengan keluarga. Mungkin, kali lain saya akan ke sini lagi, Mbak,” kata saya, meski dengan berat hati. 

Pramuniaga itu tentu kecewa, namun tentu juga dia telah dibekali ilmu menangkal kecewa.

“Oh, ndak apa-apa, Bapak. Kami akan menyambut kedatangan Bapak, kapan saja,” katanya.

Saya mengangguk-angguk. Syukurlah kalau begitu. Dia menunggu kedatangan saya, hehehe....

“Boleh saya bawa brosur ini?” tanya saya, mengangkat brosur warna-warni itu.

“Silakan, Bapak, silakan.”

Sepanjang perjalanan menuju rumah, saya terus menerus membayangkan toko itu. Bukan televisinya, tetapi pisau dapur itu. Di rumah, saya punya koleksi pisau berbagai ukuran. 

Pisau-pisau itu saya beli di pasar saat mengantar istri belanja, di pasar malam, atau di mana saja saya menemukan pedagang senjata tajam. Namun, saya belum memiliki pisau yang kini menjadi bonus kalau membeli televisi itu. Saya sangat ingin memiliki pisau buatan Belanda itu. Sungguh!

Menjelang pukul 17.00 saya tiba di rumah. Setelah mengganti pakaian seragam kantor dengan kaos lengan panjang dan sarung, saya ke dapur, untuk membantu Halimah menyiapkan menu makan malam. 

Ini hari Kamis, biasanya Halimah memasak menu serba daging; sapi, ayam, atau kadang daging kambing. Itu memang permintaan saya, sebagai persiapan untuk ritual malam Jumat, sebagai penambah stamina.

Namun, saya tidak mencium aroma daging. Benar, Halimah memang tidak memasak daging. Saat saya sampai di dapur, Halimah terlihat sedang mengiris bawang merah, bawang putih, lombok. Di wajan yang sudah nangkring di kompor, tampak setumpuk kulit melinjo.

“Kok, masak kulit so?” tanya saya, menahan kecewa, membayangkan stamina yang berkurang nanti malam karena tidak ada asupan gizi dari daging. Makan kulit so (melinjo) apa bisa meningkatkan stamina? Yang ada malah perut mulas, karena oseng kulit so penuh dengan bumbu kemiri, yang kurang cocok di usus saya.

“Ya,” jawab Halimah, pendek, dengan mulut manyun. Wah, ada gelagat kurang bagus ini.

“Lha, anak-anak apa suka? Perut mereka sudah Korea, bukan Jawa lagi,” dalih saya, untuk menutupi bahwa pihak yang paling menolak menu malam ini adalah saya. Sungguh, saya selalu sakit perut kalau makan oseng kulit so.

“Kalau tidak suka, ya puasa,” jawab Halimah, masih manyun.

“Ini malam Jumat, lho, Ma? Kita perlu makan daging, buat persiapan,” bisik saya, terkekeh. Tapi, Halimah masih saja manyun. Padahal, biasanya dia akan ikut terkekeh juga kalau saya mengingatkan tentang malam Jumat.

Halimah menghentikan mengiris bawang merah. Meletakkan pisau dengan agak kasar ke talenan, lalu memandang saya. 

“Tak ada tivi baru, tak ada daging,” katanya, melotot, lalu meraup irisan bawang merah dan bumbu lainnya, menaburkannya ke wajan. Mengaduk-aduk kulit so di wajan dengan gerakan kasar, tampak sekali dia sedang ngambek.

“Kok, bicara soal tivi terus, sih, Ma?” tanya saya.

“Mama akan berhenti bicara soal tivi, kalau papa belikan tivi baru!” jawabnya, tanpa menoleh.

“Harga tivi sekarang mahal, lho, Ma?” sahut saya mencoba untuk memengaruhi agar Halimah membatalkan niatnya membeli televisi baru.

“Ada yang murah. Diskon tigapuluh persen dan dapat hadiah menarik,” katanya, menoleh sesaat, lalu perhatiannya kembali tertuju ke wajan. Dia mengaduk-aduk kulit so dengan gerakan yang masih kasar, seolah melakukannya dengan terpaksa.

“Di mana?” tanya saya.

Halimah menghentikan memasak, kembali menatap saya. Ah, lumayan, wajahnya tidak segarang tadi. Mungkin dia mencoba melunak, agar saya mau menuruti permintaannya.

“Di Dunia Elektronik, dekat kantor papa,” kata Halimah.

“Mama ke sana?”

“Tidak. Ada di Facebook,” sahut Halimah. “Promonya berakhir Sabtu lusa.”

“Tapi, Ma ...”

Halimah mematikan kompor. Wajahnya kembali garang. Sebelum meninggalkan dapur, dia menatap saya lekat-lekat, lalu berkata, “Tak ada tivi baru, tak ada jatah nanti malam!”

Waduh, sadis banget ancamannya. Bakal tak ada ritual malam Jumat, nih? Saya memandang masakan di wajah, dan menemukan alasan untuk mengalihkan perhatian Halimah.

“Mama masak cepat sekali? Apa sudah matang, Ma?” tanya saya.

Halimah melepas celemek, lalu melemparkannya ke wajah saya.

“Kalau papa mau semua normal seperti sedia kala, harus beli tivi baru. Tivi baru, harga mati!” katanya, lalu bergegas meninggalkan dapur.

Saya bengong. Bagaimana ini? Sebetulnya, saya yang layak marah, karena sebal tiap hari melihat Halimah dan anak-anak nonton sinteron sepanjang hari. Saya sudah berencana untuk membelah televisi di rumah, sebagai shock therapy, agar mereka sadar bahwa saya tersiksa karena tidak bisa menonton film-film Hollywood.

Sekarang, mengapa keadaan berbalik? Mengapa saya harus membeli televisi lagi, yang ujung-ujungnya saya tetap tak bisa menonton acara yang saya sukai. Kalau ada televisi baru, pasti kotak ajaib itu akan dikuasai oleh anak-anak. Saya, tetap saja, tersisih.

Kalau begitu, biar sajalah Halimah ngambek. Toh, dia ngambek tak akan bikin dunia kiamat. Paling, besok, atau beberapa hari ke depan sudah melunak lagi. 

Namun, ketika melihat ke wajan yang penuh dengan oseng kulit so, pikiran saya goyah. Makan kulit so, itulah kiamat bagi perut saya, dan mungkin juga bagi perut anak-anak.

Itu fakta. Ketika makan malam tiba, Aprilia, Meilani, dan Yunita, menampakkan ekspresi tak senang. Mata mereka menyipit, seolah memandang sesuatu yang layak dihindari.

“Kulit so, ya, Ma? Ini buat mama, kan?” tanya Meilani, lirih, seakan suaranya habis karena membayangkan perutnya akan tersiksa memakan masakan yang pedas itu.

“Ya,” sahut Halimah, pendek.

“Terus, buat kami apa, Ma?” tanya Meilani lagi.

“Sama,” sahut Halimah.

“Tapi, Ma....” Meilani tidak meneruskan ucapannya, dia memandang kedua kakaknya. Aprilia dan Yunita tampak bingung mau berkata apa, mereka hanya bisa mengangkat bahu.

“Kalian tidak suka?” tanya Halimah, memandang bergantian pada Aprilia, Meilani, dan Yunita.

“Ya, Ma,” jawab anak-anak serempak.

“Kalau begitu, puasa!” kata Halimah, masa bodoh. Dia mulai makan, tak peduli pada saya dan anak-anak yang belum mengambil nasi, apalagi oseng kulit so.

Anak-anak saling pandang, kemudian memandang saya. Melalui isyarat mata, saya meminta mereka untuk segera makan. Mereka mengangguk, pelan dan terpaksa, lalu masing-masing mengambil nasi sedikit sekali, dan oseng kulit so lebih sedikit lagi. Mereka hanya makan sesuap saja, kemudian diam, tampak ragu untuk meneruskan makan malam. Begitu pula saya, makan sedikit saja. 

Alhasil, makan malam kali ini sangat tidak sukses, alias menyebalkan! Tentu saja, saya dan anak-anak tidak mengatakannya, hanya menyimpan dalam hati.

Kengambekan Halimah masih berlanjut ketika tiba waktu nonton sinetron. Kalau tadi saat di ruang makan, anak-anak kompak, keadaan berbeda saat di ruang tengah. Aprilia berada di pihak Halimah.

Halimah dan Aprilia menguasai remote, mereka nonton sinetron Pacarku Tukang Kentut. Meilani dan Yunita berkali-kali mencoba merebut remote dari tangan Halimah, karena ingin menonton sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga.

“Sedang iklan, Ma. Gantian, dong?” kata Meilani, yang didukung oleh seruan dari Yunita, bahwa mereka juga punya hak menonton televisi satu-satunya di rumah kami itu.

“Diam kalian!” Halimah membentak, membuat anak-anak dan juga saya, terhenyak. “Mulai malam ini mama yang pegang kendali. Hanya boleh nonton Pacarku Tukang Kentut, bukan yang lain!”

Meilani dan Yunita terhenyak lagi.

“Kok gitu, sih, Ma? Mama nggak adil,” kata Meilani.

“Ya, mama nggak adil,” Yunita menimpali.

“Kalian mau keadilan?” tanya Halimah, melotot.

Meilani dan Yunita mengangguk bersamaan.

“Bilang sama papamu, suruh beli tivi baru. Beli tivi baru, harga mati! Tidak bisa ditawar. Itu baru adil. Paham kalian?” kata Halimah.

Dari tadi saya duduk di kursi di belakang mereka, pura-pura membaca novel. Mendengar nama saya disebut, saya menutup novel, dan melihat Meilani serta Yunita sedang menatap saya. Tatapan mereka penuh harap agar saya bisa menyelesaikan konflik rutin malam hari di rumah.

“Papa!” seru Meilani, “beli tivi baru!”

“Ya, Papa. Beli tivi baru!” Yunita menyahut.

Saya meletakkan novel di sofa, lalu beranjak berdiri.

“Papa mau ke pos ronda,” saya ngeloyor begitu saja menuju pintu.

“Papa!” Meilani dan Yunita teriak, namun saya tak peduli. 

Ketika keluar rumah, saya belum sempat mengambil jaket. Namun, tak apalah, kaos lengan panjang yang saya kenakan sudah cukup untuk menghalau dingin. Sarung yang saya kenakan pun sudah sopan. 

Pos ronda masih sekitar seratus meter, saya akan ke sana, daripada di rumah, pusing melihat dan mendengar istri serta anak-anak rebutan acara televisi, apalagi dengar tuntutan mereka: beli tivi baru! Huh, menyebalkan. Saya rasa, rencana untuk membelah televisi, harus benar-benar saya laksanakan.

Di sebuah pertigaan, saya bertemu dengan Jarnawi, tetangga yang berusia sekitar 35 tahun. Dia mengenakan sarung dan jaket. Tampaknya, dia juga akan ke pos ronda. Sebetulnya, saya harus hati-hati bila berhadapan dengan Jarnawi. 

Halimah pernah cerita kalau lelaki tukang tebang pohon itu pernah depresi semasa muda, pernah masuk rumah sakit jiwa. Konon pula, Jarnawi sering dapat order menebang pohon di tempat-tempat angker, seperti di kuburan atau di dekat rumah kosong. Itulah mengapa gangguan jiwanya bisa kambuh, seperti orang kesurupan. Karena itu, pesan Halimah, jangan sembarangan bicara pada Jarnawi, apalagi bercanda dengannya. Bisa salah paham dan berakhir ricuh.

Namun, dalam keadaan suntuk seperti ini, saya memasabodohkan pesan Halimah tersebut. Di mata saya, malam ini Jarnawi tampak waras-waras saja, kok.

“Mau ke pos, Pak?” tanya Jarnawi. Ketika saya mengangguk, dia buru-buru mengimbangi langkah saya. “Malam ini Pak Rizal jadwal jaga?”

“Tidak, Pak. Saya sumpek di rumah,” jawab saya.

“Sumpek kenapa?”

“Bosan, tiap hari lihat istri dan anak-anak rebutan remote.”

Jarnawi terkekeh.

“Sama kalau begitu, Pak. Di rumah, saya tak bisa nonton Liga Inggris dan siaran langsung liga lainnya. Dari pagi sampai malam, sinetron terus, drama Korea terus. Menyebalkan!” kata Jarnawi, merapatkan jaket dan memperbaiki posisi sarungnya.

“Wanita memang penguasa tivi,” celetuk saya.

“Betul,” sahut Jarnawi. 

“Saya tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini. Membeli tivi lagi? Itu malah bikin tambah pusing. Rumah jadi ramai suara tivi.”

“Pakai cara orang sableng saja, Pak,” kali ini Jarnawi yang nyeletuk.

“Cara sableng?” saya menoleh. Baru kali ini saya dengar istilah itu.

“Saya dan beberapa teman sering guyonan, kalau rebutan acara tivi, ambil kapak lalu belah tivi jadi dua. Hahaha. Itu cara sableng, Pak,” Jarnawi tertawa.

“Membelah tivi?” saya kaget. Mengapa sama persis dengan gagasan saya?

“Kalau saya terus menerus menahan marah, lama-lama akan saya belah tivi di rumah. Biar istri saya nangis, saya tak peduli!”

“Ide bagus itu,” celetuk saya. “Saya punya kapak di rumah. Pak Jarnawi boleh pinjam, kalau mau.”

Jarnawi tertawa.

“Kalau kapak, saya juga punya. Saya, kan, tukang tebang pohon, Pak?” katanya, menepuk bahu saya.

“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Laksanakan idemu itu,” kata saya, bercanda, dengan harapan Jarnawi tertawa. Saya senang mendengar tawanya yang terbahak-bahak itu, perut buncitnya sampai berguncang-guncang.

Dan, benar saja, mendengar saya setuju dengan idenya membelah televisi itu, Jarnawi terbahak-bahak. Dia tidak menjawab perintah saya itu, tetapi malah bertanya, “Pak Rizal ini kan guru, untuk apa punya kapak segala?”

“Untuk membelah televisi,” sahut saya.

Hahaha... Tawa Jarnawi kembali berderai, hingga kami sampai di pos ronda. Sudah ramai di sana, bapak-bapak semua. Memang jarang ada anak muda di pos ronda. Bukan karena para pemuda itu enggan jaga lingkungan, namun karena dilarang oleh bapak-bapak mereka.

Alasan bapak-bapak itu sederhana, dan sama dengan alasan saya dan Jarnawi. Sumpek kalau di rumah lihat istri dan anak-anak nonton sinetron Pacarku Tukang Kentut atau sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga. Daripada sumpek di rumah, ya, mending ke pos ronda saja, main remi atau domino.

“Apa kabar, Pak Rizal?” sapa Hendra melambaikan tangan ketika melihat kedatangan kami. “Jadwal jaga, Pak?”

“Lho, bukankah kita jaga hari Sabtu, Pak?” balas saya.

Hendra terkekeh.

“Daripada suntuk di rumah, Pak,” jawab Hendra, lelaki tukang ojek berusia 40-an tahun itu.

“Suntuk kenapa?” tanya saya, duduk bersila di dekatnya. Dia tidak ikut main domino, namun memilih duduk di serambi pos ronda yang beralas karpet plastik bermotif Dora Emon.

“Biasa, Pak. Tak bisa nonton film Hollywood. Sinetron lagi, sinetron lagi. Muak saya, Pak,” kata Hendra, mengambil rokok dari saku kemeja kotak-kotaknya. Mengambil sebatang, lalu menyodorkan rokok yang masih dalam bungkus pada saya. Saya menggeleng, menolak halus penawarannya.

Jarnawi yang duduk di antara kami, segera menyerobot bungkus rokok dari tangan Hendra, mengambilnya sebatang, lalu menyulutnya.

“Pak Rizal ini,” kata Jarnawi setelah menyulut rokok. “Ingin pakai cara sableng.”

“Yang benar, Pak?” sahut Hendra, lalu menoleh pada saya. “Serius, Pak?”

Saya tersenyum, mengangkat bahu, gugup sejenak. Sebelum saya menjawab, si Hendra sudah menepuk bahu saya, dan berkata, “Rupanya kita semua punya ide yang sama.”

“Kita?” tanya saya, mengernyitkan dahi.

“Ya,” sahut Hendra. “Bapak-bapak di lingkungan sini juga jengkel kalau di rumah. Dari pagi sampai malam, tivi isinya sinetron melulu. Mereka ingin menghancurkan tivi di rumah masing-masing.”

“Menghancurkan?” tanya saya, menelan ludah. 

“Membelah tivi,” kata Hendra.

“Pakai kapak,” Jarnawi menyela.

“Ya, pakai kapak,” Hendra menukas, memandang saya.

“Pak Rizal punya kapak,” Jarnawi menyela lagi.

“Sempurna!” seru Hendra. “Kita bisa demo besar-besaran. Hancurkan tivi! Belah tivi! Singkirkan sinetron dari rumah kita! Pak Rizal jadi pemimpin demo.”

“Saya?” saya terhenyak, menegakkan tubuh. Saya merasa berada di situasi yang sableng. Obrolan yang selintas pintas, kini malah jadi pembahasan serius. 

“Bagaimana, Pak?” tanya Hendra, menatap saya serius.

“Bagaimana apanya?” tanya saya.

“Pak Rizal yang pimpin demo. Kita susun rencana dulu, kapan, jam berapa, siapa saja yang ikut?” desak Hendra. Sementara Jarnawi mengangguk-angguk dan berkali-kali bilang ‘ya’, ‘setuju’, ‘bagus’, dan ucapan lainnya yang membuat saya merasa terpojok.

Napas saya terasa sesak. Rencana yang mengerikan dan saya yang jadi pemimpin. Ah, ini malam yang sableng. Mungkin lebih baik saya menghindar saja, pergi dari pos ronda.

“Papa!” terdengar teriakan memanggil saya. Tak jauh dari pos ronda, tampak Aprilia berjalan mendekat. Wajahnya tampak tegang.

“Ada apa, Prila?” tanya saya.

“Tivi kita!” katanya ketus.

“Tivi kita kenapa?”

“Cepat pulang!” pinta Aprilia, seraya menarik tangan saya. Saya bingung sekaligus lega karena bisa pergi dari pos ronda. Aprilia menyeret saya untuk segera pulang.

“Jangan lupa rencana kita, Pak Rizal!” terdengar seruan dari Hendra, yang disusul tawanya dan juga tawa Jarnawi.

Sampai rumah, Aprilia masih menyeret saya menuju ruang tengah. Di sana, tampak Halimah, Meilani, dan Yunita berdiri di depan televisi yang layarnya hitam. Wajah mereka tampak gelisah, bahkan Halimah seperti menangis.

“Papa, tivi kita,” kata Halimah, sesenggukan.

“Tivi kita rusak, Papa,” Meilani menukas, juga sesenggukan. Demikian pula Yunita dan Aprilia.

“Rusak? Masa, sih?” saya mendekati televisi 32 inch itu. Menekan tombol power beberapa kali, mengecek kabel antena, mencabut stop kontak kemudian memasangnya kembali, namun televisi itu tetap tidak mau menyala. “Ini tivi baru lima tahun, merek Jepang pula, masa bisa rusak?” gumam saya. 

“Terus gimana, Pa?” tanya Halimah, menyeka mata dengan punggung tangan. Meski sudah diseka, air matanya mengalir lagi.

“Apa boleh buat?” sahut saya mengangkat bahu. “Malam ini tak ada sinteron,” sambung saya. Jujur, dalam hati, saya gembira akhirnya tak ada lagi sinetron menyebalkan di rumah, setidaknya untuk malam ini.

“Papa jahat! Kita sedih, papa malah tersenyum! Papa jahat!” kata Halimah, mendorong tubuh saya, lalu masuk ke kamar. Membanting pintu kamar keras-keras.

“Papa jahat!” bergantian, Aprilia, Meilani, Yunita, mengucapkan kata yang sama, mendorong tubuh saya, lalu masuk kamar. Membanting pintu kamar masing-masing, keras-keras. Jder! Jder! Jder! 
***
Halimah dan anak-anak meminta saya membeli televisi baru. Luar biasa tekad mereka, kompak menuntut saya, apalagi kini televisi di rumah rusak, sehingga ada alasan kuat untuk mendesak saya. Namun, saya kukuh pada jawaban: tidak!

Dalam hati, saya lebih senang tak ada televisi di rumah. Damai, tak ada suara ribut rebutan remote, tak ada sinetron menyebalkan. Namun, saya kalah suara; empat lawan satu. Baiklah, masih akan ada televisi di rumah, namun bukan televisi baru. 

Televisi yang rusak itu biar masuk bengkel saja. Siapa tahu cuma ada kabel yang lepas, atau ada onderdil ringan yang perlu diganti.

“Ya, sudah. Pokoknya nanti malam kita bisa nonton sinetron lagi,” kata Halimah, sebelum berangkat tadi pagi. Dia dan anak-anak setuju kalau televisi rusak itu masuk bengkel saja.

“Nonton sinetron atau rebutan remote?” celetuk saya, menyeringai.

“Papa pelit!” Aprilia menyela, sebelum mencium punggung tangan saya, lalu menuju ke motornya di halaman.

“Biar,to? Biar cepat umrah,” sahut saya terkekeh.

“Orang pelit, umrahnya tidak mabrur,” celetuk Meilani, sebelum menyalami saya lalu menuju motornya pula. Hanya Yunita yang tidak berkomentar, tetapi bibirnya manyun.

Siang pun tiba. Saya Jumaatan di masjid depan sekolah. Sengaja saya pulang santai, buat mengulur waktu. Saya bayangkan, Halimah sudah menunggu saya di rumah dengan muka masam dan geregetan. 

Tadi pagi, saya janji akan membawa televisi kami ke bengkel, nanti bakda Jumaatan. Bakda Jumaatan itu kan fleksibel. Pukul lima sore juga bakda Jumaatan.

“Pukul lima sore itu bakda asar namanya,” kata Halimah ketika saya sampai rumah dan bersiap berbaring di kamar. Saya beralasan tubuh pegal dan mengantuk, perlu istirahat sejenak.

“Kalau nggak sabar, ya, minta antar anak-anak, to?” kata saya.

“Aprilia ada kuliah tambahan. Mei dan Yuni ada ekskul komputer. Mereka semua pulang menjelang magrib,” sahut Halimah, wajahnya terlihat gusar menahan kesabaran.

“Oh, benarkah?” saya menyahut, menahan senyum. Halimah melempar bantal ke wajah saya.

“Cepat tidur. Pukul tiga harus sudah bangun!” katanya, sewot, lalu meninggalkan kamar.

Pukul tiga harus sudah bangun? Lha, sekarang pukul 14.30, mana bisa tidur nyenyak bila memejamkan mata cuma sejenak? Tapi tak apalah, biarpun cuma sejenak, saya coba untuk istirahat. Ah, memang damai tanpa televisi. Biasanya, jam segini sudah ada yang di depan televisi, nonton tayang ulang sinetron-sinetron yang judulnya aneh-aneh itu.

Rasanya baru sebentar saya terlelap, ketika terasa bahu saya ada yang menggunjang-gunjangkan. Di depan saya, Halimah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melotot. Dia mengingatkan saya untuk memenuhi janji, meminta saya segera salat asar, lalu ke bengkel.

Saya menurut. 

Halimah sudah siap. Saya segera mencopot televisi dari dinding, memondongnya ke luar rumah, Halimah mengikut di belakang. Dia segera mengunci pintu, lalu duduk di boncengan Nmax putih kesayangan kami. Pelan-pelan saya serahkan tivi rusak itu pada Halimah, setelah itu saya naik ke jok. 

“Siap?” tanya saya, menelengkan kepala ke kiri.

“Siap!” jawab Halimah.

Motor melaju pelan meninggalkan halaman rumah, meninggalkan gang, berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya yang ramai. Jam segini adalah jam sibuk, banyak pegawai atau karyawan yang dalam perjalanan pulang. Saya melajukan motor pelan-pelan saja, kecepatan 30 km/jam, karena di boncengan Halimah membawa barang “berbahaya”.

Di perjalanan, saya goda Halimah. Televisi di rumah kami rusak karena itu adalah hukuman buatnya. Tadi malam Halimah ogah memberi jatah pada saya. Makanya, kata saya, jangan melalaikan tugas istri di malam Jumat. Saya tunggu-tunggu, tak ada jawaban dari Halimah. Dia malah bertanya hal lain, ah, tampaknya dia mengalihkan perhatian.

“Apa bengkelnya masih buka?” teriak Halimah, karena dia tidak bisa mendekatkan wajah ke telinga saya.

“Semoga saja,” jawab saya, menelengkan kepala sejenak, “kalaupun tutup ya ketuk saja, to? Bengkelnya kan menyatu dengan rumah,” sambung saya. Itu benar. Untung Elektronik, bengkel yang akan kami tuju, memang berupa rumah yang di sampingnya untuk jasa servis elektronik. Pemilik bengkel itu bernama Untung Subejo.

“Apa bengkelnya bisa? Ini kan tivi LCD, bukan tivi tabung?” tanya Halimah lagi.

Lagi, saya menelengkan kepala ke kiri.

“Semoga saja,” jawab saya.

“Kalau bengkelnya tidak bisa, bagaimana?” tanya Halimah, seperti mendesak. Saya tahu ke mana arah pertanyaan Halimah.

“Ya, nasib,” jawab saya.

“Beli tivi baru!” sahut Halimah.

Saya pura-pura tidak mendengar.

“Papa!” teriak Halimah.

“Apa?”

“Kalau bengkelnya tidak bisa, kita beli tivi baru!”

“Apa? Mama bicara apa, tidak jelas?” sahut saya. Diam-diam saya tersenyum. Andaikan saya bisa melihat ke belakang, tentulah saat ini Halimah berwajah masam, cemberut, atau semacam itulah. 

Saya jadi penasaran, ingin melihat ekspresi Halimah. Saya melirik spion kiri, siapa tahu bisa menuntaskan penasaran saya.

“Papa!”

“Apa?” saya menelengkan kepala, spontan.

“Awas!”

Saya memalingkan kepala ke depan. Seekor kucing melintas, menyeberang jalan. Beberapa pengendara dari arah berlawanan tampak mengerem. Begitu pula saya, refleks, tangan kiri menarik tuas rem belakang, dan tangan kanan menarik tuas rem depan dalam-dalam. 

Pada saat itu, saya berusaha membanting kemudi ke kiri, namun yang terjadi saya merasakan tubuh melayang, lalu membentur aspal yang keras. Terdengar jeritan Halimah.

“Papaaa! Tiviiiii!”

Lalu terdengar pula suara benda jatuh berderak, dan suara krak, seperti sesuatu yang terlindas.

Orang-orang berhamburan, menolong kami. Saya terhuyung melangkah, dipapah dua orang lelaki, kaki saya terasa pegal. Bagaimana Halimah? Untuk sejenak, saya tak tahu. Namun, detik berikutnya, saya lihat Halimah sudah duduk berselonjor kaki di teras sebuah rumah. Saya dipapah menuju ke teras rumah itu.

“Papa gimana, Pa?” tanya Halimah, meringis, memegangi tangan kanannya. “Mama nggak apa-apa, cuma pegal di tangan.”

“Papa cuma pegal saja, Ma, di kaki,” kata saya, juga meringis.

Saya dan Halimah bertatapan, mungkin dengan pikiran yang sama.

“Tivi kita, Pa?” kata Halimah, matanya mencari-cari, begitu pula saya menatap ke segala arah. Kami sama-sama menatap ke tengah jalan raya, di sana tampak televisi kami tergeletak dengan bagian tengah retak seperti bekas terlindas.

Dua orang lelaki memunguti televisi itu yang nyaris terbelah jadi dua. Serpihannya masih tersisa di jalan, tak mungkin dipungut satu per satu.

Dua lelaki pemungut itu meletakkan bangkai televisi itu di dekat kami. Halimah berkaca-kaca menatap televisi yang telah hancur, yang tak mungkin bisa diperbaiki lagi.

“Tivi kita, Pa? Bagaimana ini, Pa?” tanya Halimah, air matanya menetes sudah. 

“Ini salah papa, Ma. Papa lengah,” kata saya, mencoba menenangkan Halimah, agar dia tidak merasa bersalah, sebab dia yang bertugas menjaga televisi kami selama dalam perjalanan.

Sementara motor kami sudah berada di halaman rumah tempat kami berteduh. Sempat saya mendengar orang mengatakan untuk menyembunyikan motor kami, agar tidak ketahuan polisi. 

Syukurlah, sampai beberapa waktu tidak ada polisi yang datang. Sempat pula saya dengar orang menyuruh orang-orang yang berkerumun di sekitar kami untuk bubar. Sebab, kerumunan bisa memancing polisi untuk datang, katanya.

Tak lama kemudian, ada seseorang melangkah gegas mendekati kami. Dia seorang perempuan dengan wajah pucat, membungkukkan badan berkali-kali sambil meminta maaf.

“Maafkan saya, Bapak, Ibu. Saya tidak sengaja. Tiba-tiba saja ada tivi jatuh di depan saya. Saya tak sempat menghindar. Saya melindas tivi itu,” katanya.
Saya tertegun. Seseorang itu adalah perempuan berpakaian serba pink, mulai dari celana panjang, tunik, jilbab, semuanya pink. Bibir dan pipinya pun berona pink. Perempuan itu pun tampak tertegun ketika melihat saya. Kami sama-sama tertegun.

“Tidak apa-apa, Mbak. Ini musibah,” kata saya.

“Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya.....”

“Ya, Mbak. Saya mengerti. Jangan pikirkan itu, Mbak. Ini musibah,” sahut saya.

“Terima kasih, Pak. Terima kasih,” ujarnya, menangkupkan kedua telapak tangannya. Lalu dia mencium tangan Halimah dan mengucapkan terima kasih atas kerelaan kami. Setelah itu dia buru-buru berlalu.

Halimah mencondongkan tubuh dan berbisik pada saya.

“Mengapa tidak nuntut ganti rugi, Pa?”

“Pada siapa? Perempuan itu? Tidakkah mama lihat wajahnya yang pucat? Lagi pula, mungkin dia hanya karyawan biasa, kasihan kalau minta ganti rugi. Ini semua musibah,” kata saya.

“Bukan karena dia cantik?” bisik Halimah, melotot.

“Mama bicara apa, sih?”
***
Saya dan Halimah baru pulang dari tukang pijat. Syukurlah, tak ada tulang yang retak atau patah. Tubuh kami hanya kaget saja karena terjatuh dari motor, begitu kata tukang pijat. Tukang pijat itu suami istri. Saya dipijat sang suami, dan Halimah dipijat sang istri. 

Beruntung pula Nmax kami tidak rusak parah, hanya lecet-lecet di beberapa bagian. Dalam keadaan bagaimana pun, orang Jawa selalu bilang beruntung, hehe...

Anak-anak menyambut kepulangan kami dengan wajah cemas. Bagaimana pun sering terjadi perbedaan pendapat, namun kami tetaplah orangtua mereka, orang yang mereka rindukan.

“Mama sudah sehat?” tanya Aprilia, sambil berusaha memapah Halimah yang baru turun dari boncengan. 

Halimah meringis sejenak, menggerakkan lengan kanannya.

“Hanya pegal saja, kok. Sekarang sudah mendingan,” kata Halimah. 

“Sini, Mei bantu jalan, Ma,” kata Meilani, berusaha membantu kakaknya memapah Halimah. Begitu pula Yunita melakukan hal yang sama. Jadilah, tiga anak gadis saya itu memanjakan Halimah yang sudah jelas-jelas mengaku baik-baik saja, hanya pegal saja. 

Sementara saya? Saya juga pegal di kaki, berjalan agak pincang, harus menuntun sendirian memasukkan motor ke ruang tamu. Namun, tak ada yang menanyakan keadaan saya, apalagi membantu saya. Duh!

“Kok, ndak ada yang tanya keadaan papa, sih?” tanya saya, di ruang tamu.

“Papa kan sudah biasa jatuh dari motor?” Aprilia menyahut, “jadi sudah kebal rasa sakit, kan?”

“Papa jahat! Ndak bisa jaga mama,” Meilani menyela, menatap saya dengan pandangan menuduh.

“Sudah gitu, gara-gara papa, tivi kita rusak parah,” Yunita ikut memojokkan saya. 

“Sudah, sudah,” Halimah menukas. “Pusing mama dengar kalian bertengkar terus. Mama mau istirahat,” sambungnya, masih dipapah anak-anak, menuju kamar.

Saya juga mau istirahat. Setelah dipijat, saya merasa mengantuk, ingin tidur. Namun, ketika hendak masuk kamar, tangan saya ditarik oleh Aprilia ke ruang tengah. 

“Terus gimana, Pa? Kita ndak punya tivi lagi,” kata Aprilia, cemberut, duduk di samping saya.

“Ya, bagaimana lagi? Untuk sementara kita tidak nonton tivi,” kata saya, santai, menyandarkan punggung pada sandaran sofa di ruang tengah, dan menyelonjorkan kedua kaki. Saya menguap, mengerjapkan mata tanda mengantuk.

“Sementara itu sampai kapan, Pa?” tanya Meilani, duduk di kasur busa di depan saya, tempat biasa mereka nonton televisi. Yunita dan Aprilia juga menatap saya.

“Ya, ndak tahu. Papa ngantuk sekali, nih,” saya menguap lagi.

“Beli tivi lagi, Pa,” kata Aprilia menatap tajam pada saya dan bibirnya cemberut. Begitu pula adik-adiknya. Saya beringsut memperbaiki posisi duduk. Lha, mengapa mereka menatap tajam begitu, seperti singa hendak menerkam mangsa.

“Kalian, kan, punya hape, laptop, ada internet. Itu kan lebih asyik daripada tivi,” kata saya, mencoba tersenyum.

“Beli tivi lagi,” sergah Aprilia, “kata mama, tabungan papa ada lima puluh juta lebih. Untuk beli empat tivi pun masih sisa banyak.”

“Ya, Pa. Beli tivi,” dukung Meilani.

“Papa jahat kalau nggak beli tivi lagi,” Yunita ikut pula mendesak.

“Tapi, itu tabungan untuk biaya pendidikan kalian,” kata saya berdalih.

“Beli tivi!” tegas Aprilia, “atau kalau nggak, kami akan numpang nonton tivi di rumah tetangga. Biar papa jadi gunjingan orang; guru SMP, pegawai negeri kok nggak mampu beli tivi. Punya tiga motor saja bisa, masa beli tivi nggak mampu.”

Saya benar-benar terdesak. Kalau anak-anak melakukan ancaman itu, benar juga, saya bisa malu tujuh keliling. Saya hendak menjawab tuntutan mereka, ketika mendadak mendengar suara jerit minta tolong di kejauhan.

“Tolong! Tolong!”

Seketika, kantuk saya hilang. Spontan pula, saya dan anak-anak keluar rumah. Sementara Halimah, entahlah, mungkin sudah terlelap, karena dia tidak keluar dari kamar, meski jeritan minta tolong itu begitu jelas seperti di depan mata.

Di jalan gang, tampak orang-orang berlarian ke satu arah. Saya lihat ada Hendra, berjalan gegas sambil membenarkan posisi sarungnya.

“Ada apa, Pak Hendra?” tanya saya.

“Jarnawi ngamuk, Pak. Bawa-bawa kapak segala,” katanya buru-buru menuju arah jeritan minta tolong.

“Kalian di rumah saja, jaga mama,” kata saya pada anak-anak, lalu bergegas menuju rumah Jarnawi, seperti orang-orang.

Di halaman rumah bercat kuning, saya lihat tiga lelaki tetangga sedang menelikung tangan Jarnawi yang tersungkur di rumput halaman rumahnya itu. Seseorang memegang sebilah kapak, itu pasti kapak Jarnawi. 

Sementara di teras, tampak Surtinah mendekap Armin, anak lelaki yang baru kelas 3 SD. Istri dan anak Jarnawi itu menangis dalam dekapan tetangga perempuan.

Melihat kedatangan saya, orang-orang menatap saya. Seorang lelaki yang ikut menelikung tangan Jarnawi, menoleh pada saya.

“Jarnawi kambuh, Pak RT,” katanya.

Saya berdiri mematung, mencoba mengatur napas, menenangkan diri. Menatap wajah Jarnawi di rerumputan, matanya mendelik, dan mulutnya menggeram-geram seperti kesurupan.

“Pak Lukito mana?” tanya saya, menatap ke sekililing.

“Saya di sini, Pak,” seorang lelaki setengah baya, berjenggot dan bercelana cingkrang, muncul dari kerumunan warga. Tampaknya dia baru saja datang.

“Tolong bantu kami, Pak,” kata saya.

“Siap, Pak,” sahut Lukito, lalu mendekati Jarnawi, dan berjongkok. Lelaki yang pernah mondok di Gontor itu komat-kamit, lalu telapak tangan kanannya mengusap wajah Jarnawi beberapa kali. “Allahu Akbar!” serunya.

Ajaib, seketika Jarnawi terdiam, matanya terpejam, napasnya tidak terengah-engah lagi. Jarnawi tampak seperti orang tidur saja.

“Alhamdulillah,” seru Lukito, begitu pula saya dan warga. Tiga lelaki yang menelikung Jarnawi segera menggotong tubuh Jarnawi, membawanya masuk ke rumahnya.

Surtinah dan anaknya masih menangis. Mereka tampak ketakutan.

“Bawa Bu Surti dan Armin ke rumah saya,” kata saya pada tetangga perempuan yang mendampingi Surtinah dan anaknya. Mereka menuruti perintah saya.

Saya masuk ke rumah Jarnawi. Di ruang tengah, tampak tubuh Jarnawi terbaring di kasur busa. Di dekatnya, tampak televisi LED yang terbelah, hancur berantakan.

“Apa yang terjadi?” tanya saya.

Seorang tetangga kemudian bercerita, mengutip keterangan dari Surtinah. Malam itu Surtinah dan Jarnawi perang mulut. Surtinah sedang menonton sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga, namun Jarnawi ingin menonton siarang langsung sepakbola. Karena jengkel, Jarnawi mengambil kapak, lalu membelah televisi di rumah itu.

Deg! Jantung saya seperti mau copot. Itukah yang akan terjadi pada saya, bila saya membelah televisi di rumah saya? Kompleks perumahan geger, orang-orang berdatangan. 

Dan saya yakin, detik ini juga peristiwa ini telah menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial. Apa jadinya bila itu terjadi pada saya; seorang guru, pegawai negeri, Ketua RT, mengamuk, membelah televisi di rumah karena tidak bisa menonton siaran langsung sepakbola. Betapa memalukan, namun itu tidak terjadi pada saya. 

Tubuh saya, mendadak, limbung. Saya terhuyung-huyung.

“Pak RT kenapa?” tanya Hendra, yang tiba-tiba sudah di belakang saya, menangkap tubuh saya yang hampir jatuh. Dia mendudukkan saya di lantai.

“Bisa antar saya pulang, Pak?” kata saya, lirih dan gemetar.
***
Tidak mungkin bagi kami untuk membeli televisi baru, saat ini. Saya beralasan, tidak etis ketika ada tetangga sedang dirundung masalah gegara televisi, kok, kami malah membeli televisi baru?

Halimah dan anak-anak, meski terpaksa, menerima usul saya. Namun, sampai kapan kami harus bertenggang rasa pada keluarga Jarnawi, dengan tidak buru-buru membeli televisi baru? Ya, sampai nanti, jawab saya asal saja. 

“Tapi Mei dengar, Bu Surti sudah tenang sekarang. Sudah nonton tivi lagi,” kata Meilani.

“Ya, Papa tahu,” sahut saya. Kabar sudah beredar. Surtinah dan anaknya mengungsi ke rumah orangtuanya. Jarnawi demikian pula, diamankan ke rumah orangtuanya. Sekarang, rumah mereka kosong.

“Papa cuma cari alasan,” kata Yunita.

“Kita sudah ketinggalan berapa episode coba?” sahut Aprilia, melirik Meilani dan Yunita, seakan meminta dukungan.

“Banyaklah. Lha, tiap malam saja bisa tayang dua sampai tiga episode. Kita sudah dua hari nggak nonton tivi,” jawab Meilani.

Aprilia menatap ke arah saya, tetapi sorot matanya bukan tertuju pada saya.

“Mama mau ke mana?” tanya Aprilia. Saya menoleh ke belakang. Rupanya, Halimah sudah berdiri di belakang kursi yang saya duduki di ruang tamu. Dia mengenakan celana panjang coklat, tunik coklat, dan jilbab coklat pula. 

Halimah tidak menjawab pertanyaan Aprilia, namun menepuk bahu saya dan berkata, “Cepat papa ganti baju, lalu antar mama!” 

“Antar ke mana?”

“Beli tivi!”

Anak-anak melonjak dari duduk masing-masing seraya berseru, “Yeee! Tivi baru!”

Saya menepuk jidat. Alasan apa lagi yang harus saya kemukakan untuk menghalangi mereka membeli televisi baru?

“Tapi, Ma, ini hari Minggu, mungkin tokonya tutup,” kata saya.

“Toko elektronik bukan cuma satu, Pa,” sergah Halimah.

“Jangan cari alasan terus, deh, Pa. Cepat, papa antar mama,” Yunita menyela.

Saya menarik napas. Saya kalah voting lagi. Malas-malasan saya melangkah ke kamar, berganti pakaian.

Begitu pula ketika mengemudikan motor, saya tidak bersemangat. Di perjalanan, Halimah banyak diam. Mungkin dia sudah bosan berdebat dengan saya perihal televisi. Tampaknya, dia sekarang berusaha mengambil kendali. Sepanjang perjalanan itu, dia cuma berkata, “ke Dunia Elektronik!”

Ah, semangat saya tiba-tiba bangkit ketika mendengar nama Dunia Elektronik. Saya teringat pisau. Apakah bonus pisau itu masih berlaku saat ini? Saya menambah kecepatan motor. Dan, sampailah kami ke Dunia Elektronik.

Toko masih ramai pengunjung. Seorang pramuniaga berpakaian serba pink mendekati kami.

“Selamat datang di Dunia Elektronik. Ada yang bisa saya bantu, Bapak, Ibu?” katanya ramah.

Saya menatap ke segenap penjuru, namun yang saya cari tidak ada.

“Maaf, boleh saya bertemu dengan Mbak Marlina?” tanya saya.

“Oh, bisa, Pak. Mari, saya antar,” pramuniaga itu melangkah, mengantar kami ke arah belakang.

Di samping saya, Halimah berbisik.

“Siapa itu Marlina?” tanya Halimah.

“Pramuniaga di sini.”

“Kok, papa tahu namanya?”

“Ya, tahulah. Kan, di seragam mereka ada namanya.”

“Simpanan papa, ya?” Halimah melotot.

“Tenang saja,” sahut saya tersenyum.

Halimah mencubit pinggang saya.

Kami sampai di sudut ruang toko. Di sana ada sebuah ruang berdinding kaca. Di atas pintu terpampang tulisan: Supervisor. Pramuniaga membukakan pintu untuk kami.

“Silakan masuk, Bapak, Ibu,” katanya.

Di dalam ruang kaca itu, seorang perempuan berseragam serba pink bergegas bangkit, menyambut kami dengan membungkukkan badan seperti orang Jepang. Saya tersenyum, sedangkan Halimah tampak terkejut, seperti teringat sesuatu.

“Lho, bukankah Mbak ini yang tempo hari.....” ucapan Halimah terpotong, ketika perempuan pink itu mencium tangannya.

“Benar, Ibu. Saya yang tempo hari melindas tivi ibu,” katanya, lalu menyilakan kami untuk duduk. “Saya benar-benar minta maaf untuk kejadian tempo hari, Ibu.”

“Ah, tidak apa-apa, Mbak. Lupakanlah,” saya yang menjawab. “Sekarang kami mau membeli televisi. Kalau boleh tahu, apa promonya masih berlaku?”

“Oh, masih, Pak. Atas permintaan para customer, kami memperpanjang masa promo, Pak,” jawab Marlina, si perempuan pink.

“Jadi, Anda supervisor di sini, ya? Tempo hari Anda jadi pramuniaga. Sekarang sudah naik jabatan rupanya,” kata saya.

Marlina tersenyum.

“Tempo hari itu pengunjung sangat banyak, Pak. Saya membantu teman-teman melayani pengunjung.”

“Oh, begitu,” saya mengangguk-angguk, dan selalu tersenyum.

Kaki Halimah menginjak kaki saya, matanya mengerling, melotot.

Marlina berdehem dan mulai membahas maksud kedatangan kami. Dia menyodorkan beberapa brosur pada kami, menceritakan beberapa merek televisi, kelebihan atau keunggulan apa yang ada dalam setiap produk.

Halimah menunjuk gambar televisi merek dari Jepang pada saya, namun saya sigap memandang Marlina dan berkata, “Kami tertarik dengan televisi yang ada bonus pisaunya, Mbak.”

Halimah tampak terkejut, namun saya tidak peduli.

“Kebetulan sekali tivi itu ada di ruangan saya ini, Pak,” kata Marlina, mengambil remote di mejanya, mengarahkan ke dinding, lalu televisi di dinding ruangan itu pun menyala.

“Wao, jernih sekali gambarnya. Bagus, ya, Ma?” kata saya menoleh pada Halimah, tapi dia tersenyum kecut saja.

“Tivi ini memang sedang laris, Pak. Merek dari Cina tapi kualitasnya sangat bagus,” kata Marlina.

Tanpa mempedulikan reaksi Halimah, saya segera berkata, “Baik, Mbak. Saya ambil tivi itu.”

“Ukuran berapa, Bapak?”

“Yang terbesar ukuran berapa?” tanya saya.

“Lima puluh inch, Pak.”

“Baik. Kami ambil itu.”

Marlina keluar dari ruangan, memanggil seorang pramuniaga lelaki berseragam biru dongker, bicara sebentar, lalu kembali masuk ruangan. Sambil menunggu televisi kami siap, Marlina berbasi-basi menanyakan beberapa hal pada kami. Dia bertanya saya bekerja di mana, begitu pula pada Halimah.

“Teman saya ada yang mengajar di TK itu, Ibu,” kata Marlina.

“Siapa?” tanya Halimah.

“Mbak Astuti. Dia teman saya semasa SMA.”

“Oh, Astuti. Tentu saja kami kenal. Saya sering numpang, membonceng Astuti kalau pulang, karena rumah kami searah,” jawab Halimah dengan wajah berbinar. Cemberut sudah hilang dari bibir Halimah, berganti dengan senyum dan celoteh-celotehnya meluncur deras. Begitulah, kalau dua perempuan sudah saling mengenal, setidaknya ada bahan menarik untuk diobrolkan.

Pintu ruangan terbuka, seorang pramuniaga lelaki mengatakan televisi kami sudah siap. Marlina mengantar kami ke meja kasir. Saya merogoh saku celana, hendak mengambil dompet, namun astaga! Saya lupa membawa uang.

“Mama bawa uang?” bisik saya. Halimah menggeleng, tampak cemas seperti saya.

“Maaf, apa bisa bayar dengan kartu debit Mandiri?” tanya saya, dan kasir menjawab bisa. Legalah saya.

“Hebat. Toko modern ini,” kata saya.

Marlina, yang berdiri di belakang kasir, menyahut, “Zaman sudah berubah, Pak. Kami harus menyesuaikan diri.”

Sudah beres. Kami hendak pulang membawa televisi baru.

“Oh, ya, Pak, hampir lupa. Ini bonus pisaunya,” kata Marlina.
***
Sejak ada televisi baru, Halimah dan anak-anak tidak bertengkar lagi. Mereka rukun, tiap malam menonton sinetron Anakku Bukan Anak Tetangga. Kalau sore, mereka bersama nonton tayang ulang sinetron Pacarku Tukang Kentut. 

Andai saja semua sinetron ada tayang ulangnya, sungguh nyaman kami dan orang-orang di seluruh negeri ini, kami tak akan ribut rebutan remote. Bagi yang tidak sempat nonton sinetron pada jam reguler, bisa menontonnya di jam tayang ulang.

Sudah damai di rumah kami. Saya tidak memerlukan lagi kapak untuk membelah televisi. Sore itu saya ke gudang, namun saya tidak menemukan kapak. Saya geledah seluruh ruang gudang, kapak itu benar-benar tidak ada.

“Cari kapak, Pa?” suara Halimah mengejutkan saya. Dia berdiri di ambang pintu gudang.

Saya mengangguk.

“Sudah mama buang. Sejak kejadian Pak Jarnawi, mama takut kalau papa akan melakukan hal yang sama,” kata Halimah.

“Ya, Ma. Papa sempat berencana begitu.”

Halimah mendekati saya, meraih tangan saya.

“Maafkan mama, ya, Pa? Mama janji tak ada ribut-ribut lagi soal nonton tivi. Kami sudah sepakat, sudah buat perjanjian, kapan kami nonton sinetron, kapan nonton acara lain. Papa juga boleh kok nonton film Hollywood.”

“Sungguh?”

Halimah tersenyum. Tubuh kami berdekatan. Saya hendak memeluk dan mencium Halimah, namun urung karena mendengar teriakan Yunita.

“Papa, ada tamu!”

Kami keluar gudang, menuju pintu rumah.

“Siapa?” tanya saya.

“Pak Kunawi,” jawab Yunita, lalu berlalu, kembali ke ruang tengah.

Di depan pintu rumah, tampak Kunawi, lelaki 40-an tahun, pemulung yang rumahnya dekat pos ronda itu, tersenyum melihat kami.

“Maaf, Pak RT, saya menemukan ini di kebun dekat sungai,” kata Kunawi, menunjukkan kapak pada kami. Dia membalikkan gagang kapak itu sehingga terlihat tulisan spidol hitam: RB. Semua penghuni kompleks perumahan tahu kalau RB itu singkatan dari Rizal Budiman.

“Ini kapak Pak RT, kan?” tanya Kunawi.

Saya dan Halimah saling bertatapan, lalu serempak menjawab, “Ambil saja, Pak.”
TAMAT

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menari Bersama Bidadari

Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIB
img-content

Jangan Pacari Kakakku

Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Pilihan Editor

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua